2A. PERAN IBU DALAM RUMAH-TANGGA. Ibu adalah salah satu tonggak penting dalam keluarga. Sejak awal penciptaan manusia, Hawa melengkapi kebutuhan Adam. Ia melengkapi kebutuhan emosi, intelektual, dan sosial Adam. Kekosongan dalam diri laki-laki diisi oleh peran perempuan, demikian sebaliknya. Itulah yang menjadi dasar suatu pernikahan.
Assalamualaikum wr saya pernah mendengar hadis bahwa Allah mempunyai keluarga dari kalangan manusia. Betapa istimewanya orang itu dan indah sekali bisa masuk ke golongan orang seperti itu. Pertanyaan saya, siapakah mereka dan bagaimana caranya agar kita bisa menjadi seperti mereka?Rusyadi Muhammad - JakartaWaalaikumussalam wr wb. Hamalat Alquran yang berarti pengemban amanah Alquran adalah mereka yang mendapatkan kedudukan khusus di sisi Allah SWT. Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah mempunyai ahli’ dari kalangan manusia.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah mereka itu?” Baginda berkata, “Merekalah ahlu Alquran, yaitu ahli’ Allah dan golongan pilihan-Nya.” HR Ahmad dan Ibnu Majah.Yang dimaksud dengan keluarga Allah dalam hadis ini adalah para wali Allah dan golongan yang mendapat tempat istimewa di hadapan Allah SWT. Sedangkan, yang dimaksudkan dengan ahlu Alquran adalah para penghafal Alquran yang senantiasa membacanya dan beramal serta berakhlak dengan akhlak untuk menjadi seorang hamalat Alquran atau ahlu Alquran tidak cukup hanya dengan menghafal dan selalu membaca Alquran saja, tetapi harus juga mengamalkan ajarannya, tidak melanggar batas-batasnya dan berakhlak dengan akhlak Tirmidzi dalam kitab Faidh al-Qadir menjelaskan bahwa ahlu Alquran itu hanya bagi para penghafal dan pembaca Alquran yang tidak ada kezaliman syirik dalam hatinya serta tidak ada kejahatan dalam dirinya. Dan, bukanlah ahlu Alquran, kecuali mereka yang sudah menyucikan dirinya dari dosa-dosa, baik yang zahir maupun yang batin, serta menghias dirinya dengan segala bentuk ketaatan, dan ketika itulah mereka menjadi ahlu Allah SWT. Itulah yang dicontohkan Rasulullah ra ditanya tentang akhlak Rasulullah saw, ia menjawab, “Akhlak Rasulullah itu adalah Alquran.” HR Ahmad, Ibnu Hibban, dan Bukhari dalam Khalqu af’al al-Ibad. Sehingga, Allah SWT pun mengabadikan kemuliaan akhlak Rasulullah saw dalam Alquran. “Dan, sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” QS al-Qalam [68] 4.Untuk menjadi keluarga Allah sebagai ahlu Alquran dan golongan yang membangkitkan peradaban baru berlandaskan Alquran, pernyataan Sayyid Quthb dalam kitabnya Ma’alim fi al-Thariq dapat kita jadikan pandangan yang bagus. Ia menjadikan generasi sahabat Nabi sebagai menjadi pembeda antara generasi sahabat dan generasi-generasi setelahnya, yakni hanya Alquran satu-satunya sumber mata air tempat mereka mengambil air minum. Dari madrasah Alquran inilah mereka keluar dan dengan berdasarkan Alquran itu mereka menyesuaikan dan mengatur kehidupan mereka. Hal tersebut bukan karena tidak adanya peradaban atau kebudayaan lain. Bukan juga karena tidak ada ilmu pengetahuan, hasil tulisan, ataupun kajian. Melainkan, pada masa itu sudah ada peradaban Romawi yang begitu maju, juga dengan peradaban Yunani dengan segala logika, filsafat, dan itu, ada peradaban Persia yang menguasai wilayah yang luas. Dan, memang Nabi saw sengaja menjadikan Alquran sebagai satu-satunya sumber yang membentuk jiwa dan pribadi para kedua adalah dalam manhaj dan cara menerima dakwah Alquran itu. Para sahabat tidak membaca Alquran dengan tujuan untuk mencari dan mendapatkan wawasan atau pengetahuan, juga bukan sekadar untuk merasakan dan menikmatinya. Tidak ada seorang pun dari mereka yang mempelajari Alquran untuk sekadar menambah pengetahuan atau untuk menambah bobot ilmiah dan kepintaran dalam ilmu fikih. Mereka menerima dan membaca Alquran untuk menerima perintah Allah SWT berkenaan dengan masalah pribadi mereka, masyarakat tempat mereka hidup, dan kehidupan yang dijalaninya bersama lain yang perlu menjadi perhatian, yaitu ketika para sahabat ini masuk Islam, mereka melepaskan diri dari semua masa lalu yang berbau jahiliyah. Sehingga, ketika masuk Islam, mereka seakan-akan membuka lembaran baru dan menutup rapat-rapat masa kejahiliyahan. Wallahu a’lam bish shawab.Ustaz Bachtiar Nasir BACA JUGA Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Klik di Sini
Dalamkondisi ini, turunlah Surat az-Zumar yang mengisyaratkan perlunya berhijrah dan mengumumkan bahwa bumi Allah tidaklah sempit, dalam firmanNya: "orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas". (QS
This study aims to find the historical and theological vision of the Church’s concept as the household of God. Historically, the idea of family or household was a heritage of ancient society. Theologically, the idea was related to God in Jesus Christ as a cornerstone and foundation for the Christian community living in the world. This concept is very relevant as the way for Christians to face various crises in life. This research uses qualitative research methods through a literature study approach. The data analysis uses the historical-theological criticism, which starts from the idea of family and household in the New Testament world, covering the context of Israel in the Bible, Greco-Roman society, and New Testament writings, then interpretation the meaning of the community of the believer as the household of God in Ephesians 219. Argumentatively, I argue that the idea of God’s household has a strong influence on the relevance of being Church today in addressing various social problems, both problems of life crises and social inequalities, as well as various conflicts. Abstrak Kajian ini bertujuan untuk menemukan visi teologi-historis konsep persekutuan beriman sebagai keluarga Allah. Secara historis, gagasan keluarga atau rumah tangga telah mengakar di dalam konteks masyarakat di masa lampau. Secara teologis, konsep ini dihubungkan dengan Allah di dalam Yesus Kristus, yang dimaknai sebagai batu penjuru dan dasar dari kehidupan komu-nitas Kristen hingga di masa kini. Gagasan ini masih tetap relevan sebagai jalan bagai umat Kristen merespons berbagai persoalan dan krisis dalam kehidupan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kepustakaan. Analisis data menggunakan metode kritik historis-teologis yang dimulai dengan analisis konsep keluarga atau rumah tangga di dalam dunia Perjanjian Baru, meliputu konteks Israel dalam Alkitab, masyarakat Yunani-Romawi, tulisan-tulisan PB, dan penafsiran makna komunitas beriman sebagai keluarga Allah di dalam Efesus 219. Secara argumentatif, penulis menegaskan bahwa konsep keluarga Allah sangat relevan dan mempunyai dampak bagi keberadaan gereja hingga di masa kini, terutama dalam menghadapi berbagai persoalan sosila, krisis kehidupan, dan berbagai konflik. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Copyright© Author, 2021; KURIOS, ISSN 2615-739X print, 2614-3135 online 149 Menggali makna keluarga Allah dalam dunia Alkitab dan surat Efesus analisis historis-biblis Yohanes Parihala Fakultas Teologi, Universitas Kristen Indonesia Maluku, Ambon parihalayoh Abstract This study aims to find the historical and theological vision of the Church’s concept as the household of God. Historically, the idea of family or household was a heritage of ancient society. Theologically, the idea was related to God in Jesus Christ as a cornerstone and foundation for the Christian community living in the world. This concept is very relevant as the way for Christians to face various crises in life. This research uses qualitative research methods through a literature study approach. The data analysis uses the historical-theological criticism, which starts from the idea of family and household in the New Testament world, covering the context of Israel in the Bible, Greco-Roman society, and New Testament writings, then interpretation the meaning of the community of the believer as the household of God in Ephesians 219. Argumentatively, I argue that the idea of God’s household has a strong influence on the relevance of being Church today in addressing various social problems, both problems of life crises and social inequalities, as well as various conflicts. Abstrak Kajian ini bertujuan untuk menemukan visi teologi-historis konsep persekutuan beriman sebagai keluarga Allah. Secara historis, gagasan keluarga atau rumah tangga telah mengakar di dalam konteks masyarakat di masa lampau. Secara teologis, konsep ini dihubungkan dengan Allah di dalam Yesus Kristus, yang dimaknai sebagai batu penjuru dan dasar dari kehidupan komu-nitas Kristen hingga di masa kini. Gagasan ini masih tetap relevan sebagai jalan bagai umat Kristen merespons berbagai persoalan dan krisis dalam kehidupan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kepustakaan. Analisis data menggunakan metode kritik historis-teologis yang dimulai dengan analisis konsep keluarga atau rumah tangga di dalam dunia Perjanjian Baru, meliputu konteks Israel dalam Alkitab, masyarakat Yunani-Romawi, tulisan-tulisan PB, dan penafsiran makna komunitas beriman sebagai keluarga Allah di dalam Efesus 219. Secara argumentatif, penulis menegaskan bahwa konsep keluarga Allah sangat relevan dan mempunyai dampak bagi keberadaan gereja hingga di masa kini, terutama dalam menghadapi berbagai persoalan sosila, krisis kehidupan, dan berbagai konflik. I. Pendahuluan Sejak Corona Virus Disease Tahun 2019 Selanjutnya disebut Covid-19 melanda dunia, salah satu dampak yang dialami oleh umat Kristen adalah harus melakukan aktivitas peribadahan dari rumah-rumah setiap keluarga baik secara online atau offline. Keluarga kembali menjadi pusat peribadahan jemaat, yang sebelum covid-19, selalu berlangsung dalam persekutuan di gedung-gedung gereja. Berbagai kajian teologis mengenai fenomena peribada-Article History Submitted October, 20, 2020 Revised April, 16, 2021 Accepted April, 29, 2021 Keywords Church; Ephesians; family of God; household; new testament; Efesus; gereja; keluarga Allah; perjanjian baru; rumah tangga DOI Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen Vol 7, No. 1, April 2021 149-163 e-ISSN 2614-3135 p-ISSN 2615-739X Yohanes Parihala Menggali makna keluarga Allah dalam dunia Alkitab… Copyright© Author, 2021; KURIOS, ISSN 2615-739X print, 2614-3135 online 150 han dari rumah setiap keluarga selama masa Covid-19 telah banyak dikaji dari berbagai perspektif, seperti seperti spiritualitas pandemik, praksis gereja rumah dan relevansi ibadah rumah. Artikel ini tidak menempatkan konsep ibadah di rumah di masa pandemik covid-19 sebagai fokus studi. Lebih daripada itu, konsep teologis ibadah rumah, atau lebih tepatnya disebutkan di sini sebagai persektuan keluarga Allah baik yang bersukutu dalam ritual keluarga, maupun yang menghidupi berbagai nilai-nilai virtue telah mengakar di dalam sebuah lintasan sejarah teologi yang cukup panjang, jauh sebelum pandemik itu terjadi. Bahkan, ketika masyarakat global memasuki era post-covid-19, seiring dengan perkembangan dan penemuan vaksin dan berbagai penemuan di bidang medis yang terus berkembang, konsep teologis mengenai persekutuan keluarga Allah, masih tetap relevan. Oleh karena itu, kajian ini dimaksudkan untuk menggali jejak historis konsep rumah tangga dan keluarga di dalam konteks historis dunia Perjanjian Baru PB, dan pengaruhnya terhadap konsep keluarga Allah dalam surat Efesus. Sejak dahulu, fondasi bagi kehidupan suatu masyarakat adalah keluarga. Dunia sehari-hari dengan berbagai aktivitas dan populasi masyarakat yang luas bermula dari konteks keluarga. Keluarga berfungsi sebagai pusat ekonomi, sosial, dan keagamaan. Karya seni dan sastra, serta teks-teks keagamaan menarasaikan dan mengungkap aspek-aspek tertentu dari kehidupan keluarga untuk dimaknakan. Bahkan, keluarga family dan rumah tangga household merupakan unsur penting di dalam ekspresi agama di masa lampau sehingga agama pada mulanya juga disebut sebagai agama keluarga. Dalam buku Household and Family Religion, yang diedit oleh John Bodel dan Saul M. Olyan, para penulis buku ini meneliti mengenai rumah tangga dan agama keluarga di Asia Barat West Asia pada Milenium Kedua Second Millennium West Asia mencakup Mesopotania, Ugari, Emar dan Nusir, kemudian Israel, Yunani-Romawi pada Melenium Pertama First Millennium West Asia. Dalam studi yang dilakukan itu, ditegaskan bahwa ekspresi kehidupan agama di masa lampau tidak dapat dipisahkan dari kehidupan keluarga. Bahkan, ritual keluarga itu telah mengikat seluruh tatanan kehidupan, mulai dari masa kelahiran, pertumbuhan anak-anak, masa dewasa, hingga kematian, semuanya dirayakan di dalam dan oleh keluarga. Ritual dan ikatan keluarga memunyai pengaruh yang kuat dalam tatanan sosial, politik, ekonomi, budaya, dan berbagai dimensi kehidupan Hutahaean, Bonnarty Steven Silalahi, and Linda Zenita Simanjuntak, “Spiritualitas Pandemik Tinjauan Fenomenologi Ibadah Di Rumah,” Evangelikal Jurnal Teologi Injili Dan Pembinaan Warga Jemaat, 2020, Susanto Dwiraharjo, “Konstruksi Teologis Gereja Digital Sebuah Refleksi Biblis Ibadah Online Di Masa Pandemi Covid-19,” EPIGRAPHE Jurnal Teologi Dan Pelayanan Kristiani, 2020, Irwanto Berutu and Harls R Evan Siahaan, “Menerapkan Kelompok Sel Virtual Di Masa Pandemi Covid-19,” 2020. Fransiskus Irwan Widjaja et al., “Menstimulasi Praktik Gereja Rumah Di Tengah Pandemi Covid-19,” Kurios Jurnal Teologi Dan Pendidikan Agama Kristen, 2020; Irfan Feriando Simanjuntak, Ramses Simanjuntak, and Agiana Her Visnhu Ditakristi, “Analisis Tentang Relevansi Ibadah Gereja Pascapandemi Covid-19,” DIEGESIS Jurnal Teologi Kharismatika, 2020; Alexander Stevanus Luhukay, “ANALISIS TEOLOGIS MENGENAI BERIBADAH DI RUMAH DI TENGAH PANDEMI COVID-19 DI INDONESIA,” VISIO DEI JURNAL TEOLOGI KRISTEN, 2020, John Bodel and Saul M. Olyan, Household and Family Religion in Antiquity Oxford Blackwell Publishing, 2009, 1, KURIOS Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen, Vol. 7, No. 1, April 2021 Copyright© Author, 2021; KURIOS, ISSN 2615-739X print, 2614-3135 online 151 Dalam kajian ini, konsep tentang keluarga dan rumah tangga dideskripsikan berkaitan dengan konteks sosial-budaya masyarakat di masa lampau yang memiliki pengaruh dan hubungan dengan kajian historis-teologis dari dunia PB. Udo Schnelle menunjukkan bahwa studi Alkitab mencakup konteks historis dari dunia yang melahirkan teks-teks Perjanjian Baru sebagai early Christian document dan pemaknaan teologis yang mau diungkapkan di dalam teks-teks mengenai dunia PB berkaitan dengan sejarah politik dan kebudayaan dari dunia Yunani-Romawi the Greco-Roman world, serta konteks keagamaan bangsa Yahudi pada masa Kekaisaran Romawi. Delbert Burkett menjelaskan bahwa dunia PB adalah suatu dunia permulaan kekristenan yang muncul dan berkembang di Palestina, di bawah pengaruh konteks Yunani-Romawi, juga Yudaisme di abad Pertama demikian, dunia Alkitab yang menjadi pijakan secara historis untuk menganalisis konsep mengenai keluarga, adalah dunia Israel yang dikisahkan dalam PL, dan dunia Yunani-Romawi. Selanjutnya, gagasan mengenai persekutuan umat beriman sebagai keluarga Allah merupakan salah satu pokok teologi penting di dalam surat Efesus. Penulis surat Efesus mengungkapkannya di dalam Efesus 2 19, “karena itu kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah”. Selanjutnya, diperlihatkan bahwa gagasan ini dipengaruhi juga oleh konsep keluarga, rumah tangga, outsider dan insider, kewargaan dan pendatang dari dunia PB. Dalam surat efesus ini, ditemukan bahwa ikatan keluarga Allah mengandung nilai-nilai warisan tradisi historis dan teologis di dalam tatanan hidup keluarga yang mempraktekkan gaya hidup resiprokal, hospitalitas, egaliter, dan solider. Secara teologis, ditegaskan bahwa Kristus adalah batu penjuru sekaligus kepala yang mendasari dan mengatur tata hidup semua anggota keluarga di dalam relasi kasih persaudaraan Ef. 122-23, 220, 415, 523-25,30-32. Secara argumentatif, penulis menegaskan bahwa persekutuan keluarga Allah memiliki pengaruh yang kuat terhadap konsep bergereja hingga di masa kini. Konsep keluarga Allah selalu relevan dalam menyikapi berbagai persoalan sosial baik masalah krisis kehidupan dan kesenjangan sosial, maupun berbagai konflik. II. Metode Penelitian Artikel ini bertujuan untuk menggali makna keluarga dan rumah tangga di dalam pengunaannya pada konteks historis dunia Alkitab, terutama Perjanjian Baru, dan relevansi-nya bagi konsep ekklesia sebagai keluarga Allah. Untuk mencapai tujuan dimaksud, maka digunakan metode penelitian kualitatif, dengan pendekatan utamanya adalah pada studi kepustakaan dan menggunakan perspektif makna keluarga dan rumah tangga dibahas dimulai dengan deskripsi analitis historis konteks kehidupan masyarakat Israel Udo Schnelle, The History and Theology of The New Testament Writings London SCM Press, 1998, 11. Norman Perrin and Dennis C Duling, The New Testament An Introduction New York Harcourt Brace Jovanovich Inc, 1982, 3. Delbert Burkett, An Introduction to the New Testament and the Origins of Christianity Cambridge Cambridge University Press, 2002, 15. Yohanes Parihala, Menggereja Yang Pro Hidup Tafsir Teks Dan Diskursus Teologi Dengan Perspektif Marginalitas, Pembebasan, Dan Perdamaian Penerbit Aseni, 2019, 15. Yohanes Parihala Menggali makna keluarga Allah dalam dunia Alkitab… Copyright© Author, 2021; KURIOS, ISSN 2615-739X print, 2614-3135 online 152 yang dikisahkan di dalam Alkitab, kemudian analisis historis konsep keluarga dan rumah tangga dalam konteks masyarakat Yunani-Romawi, dilanjutkan dengan interpretasi teologis berbagai ungkapan dan pemaknaan tentang keluarga di dalam beberapa tulisan PB. Semua penjelasan ini menjadi pintu masuk memahami gagasan mengenai persekutuan umat beriman sebagai keluarga Allah dalam surat Efesus. Oleh karena itu, secara spesifik pendekatan analisis yang digunakan dalam studi ini, seperti yang dikemukakan oleh Udo Schnelle sebagai analisis historis-teologis. Schnelle menegaskan bahwa studi PB perlu dipahami sebagai sebuah studi historis sekaligus studi Pembahasan Keluarga dan Rumah Tangga dari Masyarakat Israel Alkitab Keluarga dan rumah tangga membentuk unit sosial mendasar di Israel J King dan Lawrence E Stager menjelaskan bahwa dalam masyarakat Israel kuno kadang sebanyak tiga generasi hidup di dalam rumpun keluarga yang dikenal dengan sebutan bêt āb – yang berarti rumah atau rumah tangga. Kata Ibrani bait selalu menunjuk kepada pengertian rumah atau rumah tangga, yang diperluas menjadi dinasti. Makin jauh ke belakang garis keturunan seseorang, makin besar rumah tangga tersebut. Keluarga yang amat besar kemudian membentuk mišpākhā, sebuah istilah Ibrani yang berarti kaum atau klan. Perkembangan keluarga dan rumah tangga ini seiring waktu membentuk suatu kelompok masyarakat, kemudian menjadi kerajaan, dan berkembang menjadi suatu Negara, seperti di Israel kuno, Kerajaan Utara, Israel dikenal dengan nama “rumah tangga Omri”, dan Kerajaan Selatan, Yehuda, dikenal sebagai “rumah tangga Daud”. Hal ini juga diungkapkan oleh Albertz dan Schmitt The term beit ʾāb cannot be set apart from the much more frequent term beit, which can determine not only someone's 'house' as a building but also someone's 'household' or 'family'. Furthermore, it can also denote bigger units such as a 'clan' normally called mišpāḥāh, a 'tribe' normally called טבש šēbeṭ or הטמ maṭṭeh, or even the entire Israelite and Judean unit, both houses of Israel'; Isa 814.Dari asal usul rumah atau rumah tangga, terbentuklah suatu masyarakat yang kemudian menjadi suatu bangsa Israel sekaligus menyandang identitas kolektif bersama sebagai umat Allah. Keluarga dan rumah tangga juga mempraktekkan praktek-praktek keagamaan. Di dalam setiap rumah, terdapat tempat-tempat khusus yang dianggap sakral “mode shrines” untuk mengfigurisasi sosok ilahi yang disembah bnd. Hak. 171-5. Di tempat itu diletakkan altar untuk mempersembahkan korban zebah kepada yang Ilahi. Rainer Albertz menyebutkan bahwa keluarga di Israel mempraktekkan berbagai bentuk ritual dan peraktek keagamaan yang melibatkan keluarga inti, gabungan keluarga, dan keluarga yang telah diperluas sebagai bagian dari kelompok suku dan masyarakat. Ada ritual yang berkaitan dengan perlindungan Tuhan bagi anggota keluarga Bdk. Yes. Schnelle, The History and Theology of The New Testament Writings, 11. Rainer Albertz and Rudiger Schmitt, Family and Household Religion in Ancient Israel and the Levant Winona Lake, Indiana Eisenbrauns, 2012, 22. Philp J King and Lawrence E Stager, Kehidupan Orang Israel Alkitabiah, ed. Robert Setioo Jakarta BPK Gunung Mulia, 2010, 39. Albertz and Schmitt, Family and Household Religion in Ancient Israel and the Levant, 25. KURIOS Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen, Vol. 7, No. 1, April 2021 Copyright© Author, 2021; KURIOS, ISSN 2615-739X print, 2614-3135 online 153 3021-22. Perayaan paskah Israel sampai pada abad ke-VII SM juga dirayakan sebagai ritual keluarga yang melibatkan keluarga inti dan gabungan dari rumpun keluarga Kel. 121-14. Bahkan, ungkapan metafora tentang Yahweh berasal dari bahasa keluarga. Yahweh diungkapkan secara metaforis sebagai Bapa dan Ibu. Ungkapan ini menyingkapkan suatu kemesraan khusus yang mencirikan kehidupan Israel bersama Yahweh seperti yang terdapat dalam kehidupan dan Rumah Tangga dari Masyarakat Yunani-Romawi Konsep keluarga dan rumah tangga dalam konteks kehidupan masyarakat Yunani dapat dijelaskan artinya dari bahasa Yunani kuno. Kata rumah dan rumah tangga diekspresikan dari kata Yunani oikos, yang menunjuk pada suatu bangunan rumah di mana keluarga inti, anggota rumah tangga termasuk para budak atau pelayan, dan semua yang menghuni rumah tersebut, termasuk properti bernilai dari pemilik rumah tangga. Kemudian, kata keluarga berasal dari kata Yunani genos yang menunjuk pada makna keluarga di dalam pertalian darah atau hubungan biologis dan kata ini, oikos dan genos menunjuk pada pengertian masyarakat secara menyeluruh dengan penekanan yang berbeda. Oikos menekankan pada awalnya sebagai suatu tempat secara domestik, yakni rumah tangga yang kemudian berkembang menjadi unit geografis yang besar, meliputi suatu rumpun rumah tangga atau dikenali sebagai lingkungan bertetangga, lalu menjadi suatu desa atau kota deme, dan terus berkembang menjadi suatu kota-negara polis. Sementara itu, genos bermula dari ikatan keluarga kecil sebagai yang utama kemudian berkembang menjadi rumpun keluarga yang memiliki hubungan geneologis, hingga menjadi suatu kelompok klan atau suku yang disebut oleh masyarakat Athena sebagai phratry. Klasifikasi antara oikos dan genus juga berlaku dalam mengidentifikasi identitas kependudukan seorang warga Yunani yang turut membedakan mereka dari pada pendatang atau orang masyarakat Romawi selain memiliki warisan budaya sendiri, tetapi juga lebih banyak mengadopsi tradisi dan kultur Helenis. John Bodel, menjelaskan bahwa keluarga dan rumah tangga dibedakan dengan istilah familia dan domus. Familia adalah semua orang dan properti yang berada atau tinggal di dalam satu rumah a single house, sedangkan domus Yunani deme mencakup anggota keluarga yang tinggal bersama keluarga inti di dalam satu rumah, para budak yang tinggal bersama tuannya, atau yang tinggal terpisah karena telah berkeluarga, dan juga mereka yang punya ikatan kekeluargaan sekalipun tidak hidup bersama di dalam satu rumah tetapi selalu bersama di dalam relasi sosial sebagai anggota Albertz, “Family Religion in Ancient Israel and Its Surroundings,” in Household and Family Religion in Antiquity, ed. John Bodel and Saul M. Olyan Oxford Blackwell Publishing, 2008, 97–98. Walter Brueggemann, Teologi Perjanjian Lama Kesaksian, Tangkisan Dan Pembelaan, ed. Yosef Maria Florisan,dkk Maumere Penerbit Ledalero, 2009, 373–74. Christopher A. Faraone, “Household Religion in Ancient Greece,” in Household and Family Religion in Antiquity, ed. John Bodel and Saul M. Olyan Oxford Blackwell Publishing, 2008, 212. John Bodel, “Cicero’s Minerva, Penates, and the Mother of the Lares An Outline of Roman Domestic Religion,” in Household and Family Religion in Antiquity, 2009, 249, Yohanes Parihala Menggali makna keluarga Allah dalam dunia Alkitab… Copyright© Author, 2021; KURIOS, ISSN 2615-739X print, 2614-3135 online 154 Dalam tulisan berbeda, Kate Cooper menjelaskan lebih jauh terkait dengan ungkapan Romawi mengenai familia dan domus. Familia mempunyai makna suatu institusi keluarga terdiri dari orang-orang yang berada di bawah kekuasaan paterfamilias bapak keluarga. Orang-orang itu selain keluarga inti, ayah, ibu dan anak, juga para budak yang dimiliki, termasuk anak dan cucu mereka yang belum dimerdekakan. Anak-anak di luar pernikahan yang sah tidak termasuk dalam konsep keluarga. Sementara itu, domus atau rumah tangga memiliki pengertian awal pada rumah yang dihuni secara bersama oleh keluarga inti dan para budak, kemudian diperluas dalam jalinan relasi persaudaraan dengan rumpun keluarga lain, termasuk anak-anak di luar pernikahan bersama keluarga mereka, juga para kerabat dari gabungan beberapa keluarga yang Keluarga, Rumah Tangga, dan Ekklesia Dalam Tulisan PB Ekkehard W Stegemann dan Wolfgang Stegemann menyebutkan bahwa rumah berserta semua anggota keluarga di dalamnya sebagai suatu unit mendasar secara sosial-ekonomis dari masyarakat di masa lampau, merupakan suatu realitas penting baik di dalam konteks sosial-historis komunitas gereja mula-mula, maupun di dalam bahasa Perjanjian PB terdapat dua ungkapan bahasa Yunani yang memiliki arti keluarga dan rumah tangga, yaitu genos dan oikos atau oikia. Kata genos tidak terlalu dominan digunakan dalam bahasa Perjanjian Baru. Di dalam Theological Dictionary of the New Testament TDNT, kata genos dapat berarti keturunan atau keluarga. Kata ini digunakan dengan tiga makna Pertama, eksistensi semua manusia yang berasal dari Allah Kis. 1728. Kedua, bangsa Yahudi atau orang-orang Yahudi Gal. 114; Fil. 35; 2Kor. 1126; Kis. 719. Makna ini dalam Kekristen-an mula-mula digunakan untuk menunjukkan umat Kristen sebagai bangsa yang dipilih dan menjadi milik atau berasal dari Allah 1Pet. 29. 3 Kata ini juga menunjuk kepada jenis kind or species, 1Kor. 1210, 28.Berbeda dari kata genos, kata oikos atau oikia sangat dominan digunakan di dalam bahasa Perjanjian Baru. Dalam TDNT, terdapat sembilan pengertian dari kata oikos atau oikia. 1 Berdasarkan penggunaan dalam bahasa Yunani sendiri, oikos berarti rumah tinggal, kuil temple, house of deity, barang kepemilikan dari keluarga, semua anggota rumah tangga, dan urusan atau pekerjaan rumah tangga. 2 Oikos juga berarti Bait Allah berdasarkan tradisi Perjanjian Lama Kej. 2817,19, dan menunjuk pada Israel sebagai umat Allah. 3. Rumah Allah dalam ajaran Yesus Mrk. 226; 1117; Yoh. 142, juga umat Kristen sebagai rumah rohani bdk. Ibr. 36; 1Pet. 25; 417, 1Tim. 315.. 4 Rumah Bapa di surga dalam perspektif Gnostik dan Philo. 5 Rumah Allah di bumi Kis. 748-49; Mt. 2338. 6 Gambaran dari persekutuan komunitas Kristen mula-mula Ibr. 36; 1Kor. 316; 619; Ef. 219-22; 1Pet. 23, 417; 1Tim. 315. 7 Oikos berkaitan dengan simbol apokaliptik Yahudi, sebagai tempat Allah datang kembali En. 8936. 8 Bermakna keluarga, umat, dan suku bangsa Israel Mat. 106; 1524; Kis. 236; Ibr. 88, 10. 9 Oikos menunjuk pada persekutuan jemaat di rumah Kate Cooper, The Fall of the Roman Household Cambridge Cambridge University Press, 2007, 109, E. W. Stegemann and Wolfgang Stegemann, The Jesus Movement A Social History of Its First Century Minneapolis Fortress Press, 1995, 277. Friederich Buchsel, “Genos,” in Theological Dictionary of the New Testament, Ed. Gerhard Kittel Wm. B. Eerdmans Publishing Co., 1964, 684-689. KURIOS Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen, Vol. 7, No. 1, April 2021 Copyright© Author, 2021; KURIOS, ISSN 2615-739X print, 2614-3135 online 155 dan struktur pengorganisasian komunitas Kristen mula-mula 1Kor. 116; Fil. 12; Kis. 1615; 1631, 34; 188; 1Tim. 34-5, 12. Dalam Dictionary of New Testament Theology, kata oikos berarti rumah secara keseluruhan, mulai dari dasar, struktur bangunan, hingga semua yang berada di dalam rumah, seperti barang properti, para budak, dan para tamu atau pendatang yang menumpang di rumah sebagai bagian dari anggota rumah konsep keluarga dan rumah tangga dapat dijelaskan juga dari tradisi pengajaran Yesus. James Dunn menjelaskan bahwa Yesus sering kali mengajarkan kepada para murid untuk membangun sebuah struktur keluarga baru sebagai suatu konsep kemuridan. Struktur keluarga baru tersebut terdiri dari Allah sebagai Bapak, dan para murid-Nya sebagai Ibu, saudara lelaki dan perempuan yang perlu menyatakan loyalitas utamanya kepada Allah. Misalnya, perkataan Yesus dalam Injil Lukas 1426 berdasarkan analisis para ahli dianggap benar-benar berasal dari Yesus yang mengatakan “Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, istrinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya ia tidak dapat menjadi murid-Ku” Luk. 1426. Dalam ungkapan ini, struktur keluarga inti dan rumah tangga dihadapkan dengan makna kemuridan Yesus sebagai suatu konsep keluarga Sinoptik mengisahkan ketika Yesus memanggil para murid-Nya yang pertama, mereka meninggalkan keluarga, properti, dan pekerjaan rumah tangga yang sedang dilakukan Mrk. 118,20 dan pararelnya; 214; Luk. 957-62; Mat. 819-22. Menurut Dunn banyak penafsir PB memaknakan ungkapan Yesus yang tampak ekstrim terhadap realitas keluarga sebagai ekspresi riil dari misi Yesus bersama para murid di seputaran wilayah Galilea. Dalam realitas historis perjalanan misi Yesus, para murid-Nya selalu meninggalkan keluarga atau rumah tangga mereka berhari-hari. Hal ini tidaklah berarti bahwa Yesus benar-benar mengabaikan peran penting keluarga atau rumah tangga di dalam misi-Nya. Rudolf Bultmann menjelaskan bahwa ungkapan Yesus yang meminta para murid untuk meninggalkan keluarga merupakan konsekuensi dari pemaknaan gereja mula-mula sebagai the eschatological congregation yang meyakini bahwa Pemerintahan Allah akan segera catatan surat Paulus dalam 1 Korintus 1615 digambarkan bahwa sejarah awal kekristenan mulai bertumbuh di sebuah kota dimulai dari konversi dan pengakuan percaya Stefanus dan anggota keluarganya. Bahkan tidak sebatas pada suatu perkumpulan di dalam rumah, semua orang yang telah percaya di mana pun disebut sebagai keluarga Allah household [oikos] of God 1Tim. 3;15. Keluarga Allah tidak hanya beranggotakan mereka yang bertalian darah, atau suku, tetapi orang asing atau pendatang, budak atau orang merdeka. Semuanya dirangkul di dalam identitas diri kolektif sebagai sesama anggota keluarga Allah Otto Michel, “Oikos,” in Theological Dictionary of the New Testament, Eds. Gerhard Kittel & Gerhard Friedrich Wm. B. Eerdmans Publishing Co., 1967,119-130. J. Goetzmann, “Oikos,” in The New International Dictionary of New Testament Theology Regency Reference Library, 1971, 247. James Dunn, Jesus Remembered, Christianity in the Making Volume 1 Grand Rapids Wm. B. Eerdmans Publishing Co., 2003, 592. Rudolf Bultmann, Theology of the New Testament, Volume I New York Charles Scribner’s Sons, 1955, 9, 37. Yohanes Parihala Menggali makna keluarga Allah dalam dunia Alkitab… Copyright© Author, 2021; KURIOS, ISSN 2615-739X print, 2614-3135 online 156 Ef. 219. Keluarga Allah memiliki implikasi etis sebagaimana yang dipraktikkan dalam norma resiprokal reciprocity dari masyarakat tradisional yang dikisahkan pula dalam narasi mengenai jemaat mula-mula Kis. 241-47. Dalam norma itu, sebagai sesama anggota keluarga haruslah saling mengasihi dan membangun solidaritas. Kasih persaudaraan itu merepresentasikan nilai solidaritas di dalam suatu keluarga atau dalam suatu ikatan kekera-batan untuk membangun kehidupan yang penuh kedamaian. Jadi, salah satu konsep gereja ekklēsia mula-mula yang turut mempengaruhi perkembangannya adalah konsep keluarga Allah. Bahkan disebutkan, household are the nucleus of Christian gereja dalam tulisan PB berasal dari kata Yunani ekklēsia. Kata ini mempunyai sebuah rute sejarah penggunaan dan pemaknaan. Ralph J Korner menjelaskan bahwa sebelum digunakan kata gereja church, telah ada kata ekklēsia. Sebelum kata ekklēsia digunakan oleh generasi pertama para pengikut Yesus, kata ekklēsia telah digunakan di dalam Septuaginta LXX. Sebelum orang-orang Yahudi menggunakannya, orang-orang Athena telah familiar dengan sebutan ekklēsia sipil civic ekklēsia. Demikian menurut Korner, terminologi ekklēsia pada abad pertama gerakan Yesus memainkan peran utama baik kontinu maupun diskontinu dari sumber tradisi Yunani-Romawi dan lanjut, Korner menjelaskan bahwa dalam sumber sastra Yunani kata ekklēsia digunakan untuk pertemuan atau perkumpulan publik assembly dari semua warga masyarakat demos yang berada di sebuah kota polis – “city-state”, tetapi juga menunjuk pada identitas kolektif congregation yang sifatnya temporer hanya selama proses pertemuan itu berlangsung. Sejarah itu berlanjut ketika para pengikut Yesus mula-mula menggunakan kata ekklēsia untuk nama perkumpulan bersama komunitas orang-orang percaya assemblies. Namun, sejarah itu tidak berlanjut karena ekklēsia digunakan sebagai nama identitas kolektif dari para pengikut Yesus secara permanen, bukan lagi temporer. Hal yang sama digunakan pada sumber sastra Yahudi dalam Septuaginta LXX, nama ekklēsia digunakan menunjuk pada identitas kolektif umat atau suku bangsa Israel. Menurut Korner, kemungkinan para pengikut Yesus mula-mula memilih melanjutkan penggunaan kata ekklēsia dan maknya secara permanen dari sumber Yahudi ekklēsia digunakan sekitar 100 kali dalam LXX, yang menerjemahkan kata Ibrani Qahal yang berarti suatu perkumpulan. Secara dominan kata digunakan pada frase qahal Yahwe yang diterjemahkan sebagai umat Allah. Kemudian Paulus menggunakan kata ekklēsia untuk menunjuk pada orang-orang beriman yang berkumpul di dalam nama Kristus, yang dipanggil dan dipilih Allah. Bultmann menjelaskan bahwa terminologi ekklēsia memang mengikuti terminologi umum dalam bahasa Yunani yang menunjuk pada makna perkumpulan. Kata ini pertama-tama tidak menunjuk pada gereja sebagai individu the individual church, tetapi menunjuk umat yang berkumpul bersama, yang kemudian disebut Stegemann and Wolfgang Stegemann, The Jesus Movement A Social History of Its First Century, 277–78. Ralph J. Korner, The Origin and Meaning of Ekklēsia in the Early Jesus Movement, The Origin and Meaning of Ekklēsia in the Early Jesus Movement Leiden, Boston BRILL, 2017, 1, James Dunn, The Theology of Paul the Apostle Grand Rapids Wm. B. Eerdmans Publishing Co., 1998, 537. KURIOS Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen, Vol. 7, No. 1, April 2021 Copyright© Author, 2021; KURIOS, ISSN 2615-739X print, 2614-3135 online 157 sebagai umat Allah the people of God. Di dalam Kekristenan, individu yang percaya adalah bagian dari persekutuan persaudaraan di dalam suatu jemaat, dan suatu persekutuan jemaat merupakan bagian dari suatu gereja universal am/khatolik, yang secara methaforis digambarkan sebagai persekutuan Tubuh Kristus. Paulus sendiri dengan menyebutkan gereja sebagai Tubuh Kristus, yang berasal dari Allah bertujuan untuk memperkuat hubungan antara orang-orang Kristen non-Yahudi dengan jemaat di sebagai persekutuan yang terbuka dinarasikan di dalam tradisi pengajaran Yesus. Di dalam Injil Sinoptik, Yesus tampil sebagai tokoh yang merangkul orang-orang yang dieksklusikan dari tengah kehidupan bersama dengan berbagai kategori, baik orang-orang miskin, perempuan dan anak, orang-orang sakit, orang Samaria atau komunitas di luar Yahudi, maupun para pemungut cukai yang dianggap sebagai orang berdosa bagi sebagian kalangan pemimpin Yahudi. Apa yang dilakukan Yesus kemudian menjadi suatu norma imitatio Christi, sekaligus sebuah pengakuan dan suatu memori kolektif bagi para murid atau pengikut Yesus di kemudian hari untuk juga membangun persekutuan yang terbuka dan merangkul semua Beriman Sebagai Keluarga Allah Dalam Surat Efesus Gagasan mengenai persekutuan umat beriman sebagai keluarga Allah merupakan salah satu pokok teologi penting di dalam surat Efesus. Penulis surat Efesus mengungkapkannya di dalam Efesus 219, “karena itu kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah”. Berdasarkan catatan pembukaan surat Efesus 11 yang menyebutkan nama Paulus sebagai pengarangnya maka cukup lama surat ini diterima sampai pertengahan abad ke-19 sebagai surat Paulus. Bapak-bapak gereja seperti Ignatius dari Anthiokia, Plycarpus dari Smirna, dan Hermes menerima bahwa Paulus yang menulis surat Efesus. Kendati demikian, sebagian besar ahli PB di abad 20 seperti Maurer 1951, Dibelius 1953, Nineham 1956, Kaesemann 1958, Conzelmann 1962, menolak dengan tegas kepengarangan Paulus pada surat dan Duling mengklasifikasikan surat Efesus sebagai karangan deutro Paulus. Kendati Efesus ditempatkan sebagai surat yang tidak secara langsung ditulis oleh Paulus, namun warisan teologi Paulus tetap diteruskan oleh para pengikutnya yang menulis surat ini. Situasi historis yang melatarbelakangi penulisan surat Efesus dan karangan deutro Paulus lainnya adalah suatu pergumulan gereja pasca kematian para rasul utama, atau pasca generasi pertama Kekristenan. Dalam konteks ini, gereja harus menjawab berbagai perta-nyaan dan permasalahan di tengah jemaat, seperti penundaan parusia, muncul para guru dan pengajar lain yang dipengaruhi oleh berbagai aliran seperti gnostik dan doketisme. Sementara itu, struktur dan organisasi gereja sebagai kelanjutan sumber otoritas gereja pasca para rasul belum tertata. Konteks lainnya adalah berbagai ancaman dan persekusi dari kekaisaran Romawi yang menegakkan sistem Pax Romana dengan pendekatan patronisme yang menun- Bultmann, Theology of the New Testament, 93–94. Wright, The New Testament and the People of God Minneapolis Forterss Press, 1992, 18. Dunn, Jesus Remembered, Christianity in the Making Volume 1, 599–605. Martin Kitchen, New Testament Readings Ephesians London Routlege, 2002, 4–6. Perrin and Dennis C Duling, The New Testament An Introduction, 218–20. Yohanes Parihala Menggali makna keluarga Allah dalam dunia Alkitab… Copyright© Author, 2021; KURIOS, ISSN 2615-739X print, 2614-3135 online 158 tut ketaatan dan penyembahan pada Kaisar. Ada pula persoalan penting lain adalah kete-gangan hubungan antara orang-orang Kristen Yahudi dan ketegangan antara Jemaat Yahudi dan non-Yahudi merupakan salah satu faktor utama dari gagasan gereja sebagai keluarga Allah Ef. 211-22. Schnelle menjelaskan bahwa gagasan tersebut dimaksudkan untuk mendamaikan ketegangan yang terjadi dari pembaca surat ini, yaitu jemaat yang berlatar belakang Yahudi dan non-Yahudi di Asia Kecil bdk. Ef. 211; 31; 417. Terlebih lagi di wilayah Asia Kecil kala itu, yang merupakan wilayah non-Yahudi, orang-orang Yahudi merupakan warga non-Yahudi tampaknya tidak menghiraukan keberadaan gereja yang punya hubungan erat dengan Israel. Mereka hendak menyangkali warisan Yudaisme di dalam kekristenan yang berkembang di Asia Kecil. Sementara itu, jemaat yang berlatarbelakang Yahudi juga memandang jemaat non-Yahudi sebagai orang-orang yang jauh, bahkan tidak mendapat tempat di dalam karya penyelamatan Allah karena status mereka sebagai orang-orang yang tidak konteks inilah, makna gereja sebagai keluarga Allah diberitakan. Gagasan gereja sebagai keluarga Allah dalam Efesus 219 merupakan suatu kesatuan literar dengan Efesus 211-22. Ayat 19 ini diawali dengan frase “karena itu” ara oun dalam terjemahan LAI digunakan kata demikianlah. Menurut Tet –Lim Yee, frase karena itu berfungsi sebagai inferensial konektif yang menghubungkan ayat ini dengan Efesus 2 ungkapan karena itu bukan hanya sebuah frase penghubung tanpa makna. Pada ayat 11, tampak jelas ada pesoalan terkait perbedaan yang tajam di antara jemaat Yahudi dengan non-Yahudi. Tanda identitas yang membedakan itu dibahasakan dengan ungkapan “orang-orang tak bersunat” dan “mereka yang menamakan dirinya sunat.” Dalam tradisi Yahudi, sunat merupakan tanda perjanjian antara Allah dengan Abraham dan keturunannya, umat Israel Kej. 179-14; Yobel 1533-34. Sunat menjadi penanda yang membedakan identitas orang-orang Yahudi dengan orang non-Yahudi yang dianggap sebagai orang ayat 13, klasifikasi lain adalah mengenai “yang jauh” dan “dekat”. Dalam Yudaisme, yang jauh menunjuk kepada bangsa non-Yahudi. Mereka dapat menjadi dekat melalui proses proseltisme sebagai suatu tahapan pengakuan diri dan penerimaan tradisi dan ajaran dalam konteks literar teks ini, penulis meresponi pertentangan dan perseteruan identitas Yahudi dan non-Yahudi dengan memberitakan mengenai kematian Yesus Kristus di salib sebagai mediator pendamaian Kematian Kristus sebagai mediator pendamaian telah meruntuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan di antara Yahudi dan non-Yahudi, serta menjadikan mereka sebagai manusia baru kainon antropou. Jika manusia lama melihat pertentangan dan perseteruan, maka sebagai manusia baru yakni orang-orang yang beriman kepada Kristus, lebih mengutamakan hidup di dalam kesatuan dan damai sejahtera. Schnelle, The History and Theology of The New Testament Writings, 278. Tet-Lim N. Yee, Jews, Gentiles and Ethnic Reconciliation Pauls’s Jewish Identity and Ephesians Cambridge Cambridge University Press, 2005, 80. Lincoln, Word Biblical Commentary 42 Ephesians Texas Word Books Publisher, 1990, 138. KURIOS Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen, Vol. 7, No. 1, April 2021 Copyright© Author, 2021; KURIOS, ISSN 2615-739X print, 2614-3135 online 159 Dengan demikian, frase awal “karena itu” dalam ayat 19 tidak hanya sebagai penghubung, tetapi sebagai ungkapan kausalitas – yang hendak menekankan makna kematian Kristus bagi kebersatuan dan persekutuan Yahudi dan non-Yahudi sehingga perseteruan harus diakhiri. Jemaat non-Yahudi diharapkan tidak lagi dipandang sebagai orang asing ksenoi dan jemaat Yahudi tidak lagi dianggap sebagai pendatang piroikoi. Menurut Tet-Lim N Yee, dalam konteks Helenisme terdapat perbedaan tajam antara penduduk citizen yang tinggal pada polis dengan para pendatang aliens yang tinggal di pinggiran kota. Orang-orang pinggiran ini diperlakukan sebagai kelompok marginal. Perbedaan status antara warga polis dengan kaum pinggiran menjadi menajam ketika terjadi hubungan pernikah antara orang asing dengan pendatang. Ungkapan pendatang piroikoi ini juga diungkapkan dalam Kisah Para Rasul 76, 1 Petrus 211; Kejadian 234; Keluaran 12 mengindikasikan bahwa bukan hanya dalam tradisi Helenis, tetapi juga di dalam tradisi dunia PB dan Israel, pembatasan identitas sosial antara insider dan outsider selalu ada. Namun, pada bagian surat Efesus ini, pembatasan sosial itu ditransformasi dengan satu identitas kolektif yang baru, yakni sebagai persekutuan orang beriman yang telah dipersatukan. Demikian ditegaskan “kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah” ayat 19. Ungkapan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah memiliki makna mendalam bagi persekutuan umat beriman dalam surat Efesus. Ungkapan kawan sewarga merupakan konstruksi identitas umat beriman yang telah dipersatukan. Kalau sebelumnya, terjadi pembedaan dan pemisahan bagi orang asing dan pendatang, maka ungkapan ini menegaskan bahwa orang-orang beriman adalah sesama yang berasal dari polis atau demos yang sama. Tidak perlu ada perseteruan. Identitas kolektif itu dilengkapi dengan predikat yang bermakna dalam ungkapan “dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah. Ungkapan orang-orang kudus dalam penafsiran para ahli memiliki tiga makna. Pertama, menunjuk pada para penghuni surga sebagaimana diungkapkan dalam teks PL Ayb. 51; Mzm. 896-7, dst dan PB 1Tes. 313; 2Tes. 17. Kedua, ungkapan orang-orang kudus menunjuk kepada umat Israel sebagai umat yang dipilih secara khusus oleh Allah yang kudus 192; 1Pet. 116. Ketiga, orang-orang kudus menunjuk pada perse-kutuan orang-orang beriman atau gereja yang juga dipilih Allah atau dikhususkan untuk melakukan perkejaan Allah di dunia Ef. 11; 1Pet. 114-15.Dalam konteks surat Efesus, ungkapan orang-orang kudus memiliki makna tidak hanya menunjuk kepada persekutuan umat beriman, tetapi juga kepada umat Israel yang tetap dipandang sebagai umat pilihan Allah. Hal ini dimaksudkan untuk meresponi sikap jemaat non-Yahudi yang tidak memandang penting warisan Yudaisme di dalam kekristenan. Pada saat yang sama, dengan memberikan predikat sebagai persekutuan orang-orang kudus kepada gereja, baik orang Yahudi maupun non-Yahudi, merupakan umat yang dipilih Allah. Artinya, tidak hanya umat Israel yang dipilih dan dikuduskan Allah, tetapi juga semua orang beriman adalah orang-orang yang dipilih dan dikuduskan. Hal ini berarti klaim umat Yahudi yang memandang jemaat non-Yahudi sebagai orang asing juga ditolak. Yee, Jews, Gentiles and Ethnic Reconciliation Pauls’s Jewish Identity and Ephesians, 192–192. Lincoln, Word Biblical Commentary 42 Ephesians, 197. Yohanes Parihala Menggali makna keluarga Allah dalam dunia Alkitab… Copyright© Author, 2021; KURIOS, ISSN 2615-739X print, 2614-3135 online 160 Predikat orang-orang pilihan dan kudus merupakan deklarasi identitas gereja mula-mula dalam konteks pengharapan eskatologis. Bahwa sebagai umat pilihan dan orang-orang yang dikuduskan, maka karya keselamatan Allah dapat dialami oleh persekutuan orang beriman. Identitas ini pun merupakan warisan dari konsep diri umat Israel. Namun, dalam praksis gereja mula-mula, akta baptisan menjadi penanda seseorang disucikan, dibenarkan dan diselamatkan di dalam nama Yesus Kristus 1Kor. 611; Ef. 526; 1Pet. 321. Bultmann mem-bedakan praktek baptisan gereja mula-mula dengan baptisan proselitisme Yahudi sebagai ritus inisiasi seseorang non-Yahudi menjadi Yahudi dengan kewajiban memenuhi tradisi dan ritual Yahudi. Baptisan gereja mula-mula lebih dekat hubungannya dengan baptisan Yohanes, yang bertujuan agar seseorang mengakui dosanya, bertobat, dan menjalani kehidupan baru sebagai seorang yang dimerdekakan dari dosa dan menjadi anggota perse-kutuan orang lain yang juga bertujuan menyelesaikan ketegangan antara jemaat Yahudi dan non-Yahudi adalah gereja sebagai keluarga Allah oikeioi tou Theou. Gagasan ini memiliki makna berkaitan dengan konsep keluarga Allah dalam warisan tradisi umat Israel dan juga dalam konteks sosial- religius masyarakat Yunani-Romawi. Dalam tradisi Israel, ungkapan rumah Allah menunjuk kepada dua makna, yaitu pada Bait Suci dan pada umat Israel sebagai rumah Allah. Dalam Septuaginta LXX, kata oikos adalah terjemahan dari kata Ibrani bait yang berarti rumah tempat tinggal atau rumah tangga. Bait beranggotakan keluarga inti, properti, gabungan rumpun keluarga yang kemudian membentuk mišpākhā, sebuah istilah Ibrani yang berarti kaum atau klan, dan akhirnya membentuk suatu kelompok masyarakat, lalu menjadi kerajaan, dan berkembang menjadi suatu negara. Dalam Septuaginta, kata oikos selalu berpadanan dengan kata Theos oikos tou theou yang berarti rumah Allah dan menunjuk pada Bait Suci 1Raj. 819; 2Raj. 205; 217; 2327; Yes. 4328, 565; Yer. 710. Pada masa pembuangan dan sesudah pembuangan, frase rumah Allah dipandang menunjuk pada Bait Suci di Yerusalem. Namun, dalam tradisi Midras Yahudi, arti ini berkembang dengan motif spiritual yang menekankan keberadaan umat Israel sebagai bait Allah. Bahkan, tradisi ini diteruskan dalam tulisan-tulisan PB yang memaknakan keberadaan jemaat sebagai rumah/bait Allah 1Kor. 316-17; 619; 2Kor. 616.Craig S. Keener menjelaskan bahwa penggunaan ungkapan keluarga Allah dalam tulisan Paulus maupun dalam deutro Paulus seperti pada surat Efesus tidak mengikuti secara harfiah makna Bait Allah di dalam tradisi Perjanjian Lama. Ada keberlanjutan bahwa jemaat atau gereja diidentikan dengan Bait Allah, tetapi ada pula perbedaan dan perkembangannya. Jika dalam PL, pada Bait Allah sendiri terdapat batasan ruang antara para imam dan kaum awam, Yahudi dan non-Yahudi, termasuk untuk para perempuan 1Raj. 841-43, maka di dalam persekutuan gereja sebagai Bait Allah, perbedaan dan pertentangan itu didamaikan sehingga semua orang beriman baik Yahudi maupun non-Yahudi sama-sama menjadi anggota Bultmann, Theology of the New Testament, 38–40, 136. King and Stager, Kehidupan Orang Israel Alkitabiah, 39. KURIOS Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen, Vol. 7, No. 1, April 2021 Copyright© Author, 2021; KURIOS, ISSN 2615-739X print, 2614-3135 online 161 di dalam persekutuan rumah Allah. Konsep ini menandai keterbukan dari gereja mula-mula untuk merangkul perbedaan rasial, etnis dan teologis keluarga Allah juga sangat relevan untuk meresponi konteks masyarakat Yunani-Romawi yang mempraktekkan klasifikasi sosial antara in group dan out group, atau antara demos citizen dan ksenoi aliens. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, status kewargaan masyarakat Yunani-Romawi berkembang dari asal-usul keluarga dan rumah tangga. Oikos dan genus berlaku dalam mengidentifikasi identitas kependudukan sebagai seorang warga Yunani-Romawi. Sementara itu, para pendatang paroikoi dibedakan secara sosial dan mengalami keterasingan sebagai kaum pinggiran. Mereka juga disebut sebagai orang asing ksenoi.Ketegangan etnis dan religious antara jemaat Yahudi dengan non-Yahudi tidak disangkali sebagai latar-belakang penulis Efesus menggunakan konsep keluarga Allah. Gaga-san tentang keluarga Allah yang juga terdapat di dalam tradisi dua kelompok masyarakat ini hendak mentransfromasi suatu tatanan sosial yang tidak setara dan diskriminatif, dengan tatanan yang lebih setara dan mutualis. Dalam konsep keluarga Allah, orang-orang percaya non-Yahudi tidak lagi dapat menganggap diri mereka lebih dominan dan superior daripada orang-orang Kristen Yahudi, tetapi keduanya harus membangun kehidupan persaudaraan yang saling mendukung dan menghormati. Di samping itu, dalam ayat 20 penulis Efesus menegaskan bahwa penerimaan orang-orang non-Yahudi sebagai anggota keluarga Allah dengan menggunakan konsep dibangun di atas dasar atau fondasi para rasul dan nabi. Hal ini untuk menunjukkan bahwa para rasul dan nabi yang dipandang sebagai simbol otoritas pengajaran dalam jemaat mula-mula Rm. 1510; 1Kor. 310 menjadi legitimasi atau penjamin status baru orang-orang non-Yahudi sebagai anggota keluarga Allah. Lebih mendasar dari sekedar fondasi, yaitu Kristus sebagai batu penjuru, yang menjadi fondasi dari para rasul dan para nabi. Keluarga Allah yang dibangun oleh Kristus sebagai batu penjuru adalah sebuah ikatan persekutuan orang beriman, yang berada dan hidup di dalam konteks sosial-historisnya, dengan menceriminkan ajaran Kristus yang mempersatukan semua orang di dalam kasih Allah yang abadi. IV Kesimpulan Pemaknaan persekutuan beriman sebagai keluarga Allah mengakar di dalam konteks sosial historis masyarakat pada masa lampau, terutama masyarakat di sekitar dunia PB. Akar historis masyarakat masa lampau baik dalam bentuk persekutuan rumah tangga maupun keluarga mempraktekkan berbagai ritual keluarga, dan memelihara nilai-nilai virtue, seperti solidaritas, resiprokal, dan hospitalitas. Ketika realitas historis tersebut dikonstruksikan di dalam narasi teologis, makai persekutuan beriman sebagai keluarga Allah dibangun di atas Craiig S Keener, The IVP Bible Background Commentary New Testament Illinois InterVarsity Press, 1993, 544. Christopher A. Faraone, “Household Religion in Ancient Greece,” in Household and Family Religion in Antiquity, ed. John Bodel and Saul M. Olyan Oxford Blackwell Publishing, 2008, 212. Yee, Jews, Gentiles and Ethnic Reconciliation Pauls’s Jewish Identity and Ephesians, 200. Elisabeth Schiissler Fiorenza, Untuk Mengenang Perempuan Itu Jakarta BPK Gunung Mulia, 1997, 347. Yee, Jews, Gentiles and Ethnic Reconciliation Pauls’s Jewish Identity and Ephesians, 202. Yohanes Parihala Menggali makna keluarga Allah dalam dunia Alkitab… Copyright© Author, 2021; KURIOS, ISSN 2615-739X print, 2614-3135 online 162 sebuah fondasi, yaitu ajaran para rasul dan para nabi yang sesungguhnya mengakar di dalam Kristus sebagai batu penjuru. Makna persekutuan keluarga diperdalam sebagai persekutuan keluarga Allah, yang hidup untuk memberlakukan apa yang diajarkan Kristus sebagai jalan Allah. Persekutuan beriman sebagai keluarga Allah adalah sebuah konstruksi identitas kolektif yang dapat menyudahi perseteruan karena perbedaan etnis, sosial, dan tradisi religius Yahudi dan non-Yahudi. Ikatan ini dibangun di atas dasar Kristus sebagai batu penjuru, yang diteruskan dalam pengajaran para nabi, para rasul, dan gereja di sepanjang masa. Di dalam ikatan keluarga Allah, nilai-nilai warisan tradisi dalam tatanan hidup keluarga yang mempraktekkan gaya hidup resiprokal, hospitalitas, egaliter, dan solider, tetap dibangun. Kristus adalah batu penjuru sekaligus kepala yang mendasari dan mengatur tata hidup semua anggota keluarga di dalam relasi kasih persaudaraan Ef. 122-23; 220; 415; 523-25, 30-32. Persekutuan beriman sebagai keluarga Allah tetap menjadi relevan di dalam berbagai situasi, termasuk situasi pandemi Covid-19 yang melanda kehidupan dunia di masa kini. Konsep persekutuan beriman sangat relevan karena mewariskan nilai-nilai yang sangat dibutuhkan di tengah berbagai krisis akibat situasi pandemik. Artikel ini belum membahas makna persekutuan keluarga Allah dalam situasi pandemi Covid-19 atau post-pandemi, sehingga direkomendasikan untuk dilakukan pada penelitian berikutnya. Referensi Albertz, Rainer. “Family Religion in Ancient Israel and Its Surroundings.” In Household and Family Religion in Antiquity, edited by John Bodel and Saul M. Olyan. Oxford Blackwell Publishing, 2008. Albertz, Rainer, and Rudiger Schmitt. Family and Household Religion in Ancient Israel and the Levant. Winona Lake, Indiana Eisenbrauns, 2012. Berutu, Irwanto, and Harls R Evan Siahaan. “Menerapkan Kelompok Sel Virtual Di Masa Pandemi Covid-19.” 2020. Bodel, John. “Cicero’s Minerva, Penates, and the Mother of the Lares An Outline of Roman Domestic Religion.” In Household and Family Religion in Antiquity, 2009. Bodel, John, and Saul M. Olyan. Household and Family Religion in Antiquity. Oxford Blackwell Publishing, 2009. Brueggemann, Walter. Teologi Perjanjian Lama Kesaksian, Tangkisan Dan Pembelaan. Edited by dkk Yosef Maria Florisan. Maumere Penerbit Ledalero, 2009. Buchsel, Friederich. “Genos.” In Theological Dictionary of the New Testament, 684–89. Wm. B. Eerdmans Publishing Co., 1964. Bultmann, Rudolf. Theology of the New Testament. Volume I. New York Charles Scribner’s Sons, 1955. Burkett, Delbert. An Introduction to the New Testament and the Origins of Christianity. Cambridge Cambridge University Press, 2002. Cooper, Kate. The Fall of the Roman Household. The Fall of the Roman Household. Cambridge Cambridge University Press, 2007. Dunn, James Jesus Remembered, Christianity in the Making Volume 1. Grand Rapids Wm. B. Eerdmans Publishing Co., 2003. ———. The Theology of Paul the Apostle. Grand Rapids Wm. B. Eerdmans Publishing Co., 1998. KURIOS Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen, Vol. 7, No. 1, April 2021 Copyright© Author, 2021; KURIOS, ISSN 2615-739X print, 2614-3135 online 163 Dwiraharjo, Susanto. “Konstruksi Teologis Gereja Digital Sebuah Refleksi Biblis Ibadah Online Di Masa Pandemi Covid-19.” EPIGRAPHE Jurnal Teologi Dan Pelayanan Kristiani, 2020. Faraone, Christopher A. “Household Religion in Ancient Greece.” In Household and Family Religion in Antiquity, edited by John Bodel and Saul M. Olyan. Oxford Blackwell Publishing, 2008. Fiorenza, Elisabeth Schiissler. Untuk Mengenang Perempuan Itu. Jakarta BPK Gunung Mulia, 1997. Goetzmann, J. “Oikos.” In The New International Dictionary of New Testament Theology. Regency Reference Library, 1971. Hutahaean, Hasahatan, Bonnarty Steven Silalahi, and Linda Zenita Simanjuntak. “Spiritualitas Pandemik Tinjauan Fenomenologi Ibadah Di Rumah.” Evangelikal Jurnal Teologi Injili Dan Pembinaan Warga Jemaat, 2020. Iwamony, Rachel. “From Exclusivism to Pluralism Shifting Perspective of the Gereja Protestan Maluku GPM in Interreligious Relations.” Wawasan Jurnal Ilmiah Agama Dan Sosial Budaya, 2019. J. Korner, Ralph. The Origin and Meaning of Ekklēsia in the Early Jesus Movement. The Origin and Meaning of Ekklēsia in the Early Jesus Movement. Leiden, Boston BRILL, 2017. Keener, Craiig S. The IVP Bible Background Commentary New Testament. Illinois InterVarsity Press, 1993. King, Philp J, and Lawrence E Stager. Kehidupan Orang Israel Alkitabiah. Edited by Robert Setioo. Jakarta BPK Gunung Mulia, 2010. Kitchen, Martin. New Testament Readings Ephesians. London Routlege, 2002. Lincoln, Word Biblical Commentary 42 Ephesians. Texas Word Books Publisher, 1990. Luhukay, Alexander Stevanus. “ANALISIS TEOLOGIS MENGENAI BERIBADAH DI RUMAH DI TENGAH PANDEMI COVID-19 DI INDONESIA.” VISIO DEI JURNAL TEOLOGI KRISTEN, 2020. Michel, Otto. “Oikos.” In Theological Dictionary of the New Testament, 119–30. Wm. B. Eerdmans Publishing Co., 1967. Parihala, Yohanes. Menggereja Yang Pro Hidup Tafsir Teks Dan Diskursus Teologi Dengan Perspektif Marginalitas, Pembebasan, Dan Perdamaian. Penerbit Aseni, 2019. Perrin, Norman, and Dennis C Duling. The New Testament An Introduction. New York Harcourt Brace Jovanovich Inc, 1982. Schnelle, Udo. The History and Theology of The New Testament Writings. London SCM Press, 1998. Simanjuntak, Irfan Feriando, Ramses Simanjuntak, and Agiana Her Visnhu Ditakristi. “Analisis Tentang Relevansi Ibadah Gereja Pascapandemi Covid-19.” DIEGESIS Jurnal Teologi Kharismatika, 2020. Stegemann, E. W., and Wolfgang Stegemann. The Jesus Movement A Social History of Its First Century. Minneapolis Fortress Press, 1995. Widjaja, Fransiskus Irwan, Candra Gunawan Marisi, T. Mangiring Tua Togatorop, and Handreas Hartono. “Menstimulasi Praktik Gereja Rumah Di Tengah Pandemi Covid-19.” Kurios Jurnal Teologi Dan Pendidikan Agama Kristen, 2020. Wright, The New Testament and the People of God. Minneapolis Forterss Press, 1992. Yee, Tet-Lim N. Jews, Gentiles and Ethnic Reconciliation Pauls’s Jewish Identity and Ephesians. Cambridge Cambridge University Press, 2005. ... Kekeluargaan yang terbangun sangat baik, akan memberikan semangat bagi setiap anggota untuk selalu rindu berjumpa dan membangun persekutuan yang indah dalam Kristus. Keefektifan komsel Three Party dengan jumlah yang tidak terlalu banyak akan membawa komunitas makin memahami dengan cepat dan memberikan perhatian lebih serta membangun sebuah hidup keluarga dalam Kristus yang sangat menyenangkan Parihala, 2021. Bahkan bisa membawa banyak jiwa datang kepada Yesus. ...Paulus Kunto BaskoroChurch growth is an important part of church history. One the important pillars in church growth is the cell group. The early church became a serious church in working on cell group principles as in Acts 246-47. The Covid-19 pandemic has made changes and shifts in the arrangement of cell groups. Before Covid 19 cell groups coulds be held in large numbers, but when the Covid 19 pandemis hit the world, cell groups could not be held in meetings with many people. The researcher is giving an explanation about the concept of cell group with the name of three party which is a simple implementation according to the principle of cell group Acts 246-47, especially in the present. This writing uses a descriptive literature method. The goal is that trough writing, namely First, every believer understands the important principle in church growth through cell groups according to Acts 246. Second, every believer understands one of the newer models of effective cell grouping principles today. Third, every believer can implement the comsel three party concept, so that the local church experiences significant congregational Christian RuhulessinConflict and reconciliation are a reality in the life of congregations. Generally, conflict emerges in the life of the congregation because of non-theological reasons. Principally, congregations involved in a conflict have the responsibility to overcome the conflict. So do the Elpaputih and Samasuru, two congregations in the Protestant Church in the Moluccas involved in a conflict. This research aims to discover the potential reconciliation between these congregations. Through interviews and focus group discussions, the researcher discover that forgiveness is an essential bridge to reconciliation. At the end of the research, the author emphazise that reconciliation is a must because it is a church calling. For this case, the land as the source of the conflict must be a place for reconciliation when perceived as belonging to God and God’s gift. AbstrakKonflik dan rekonsiliasi adalah kenyataan yang sangat sering dijumpai dalam kehidupan berjemaat. Umumnya, konflik yang terjadi dalam kehidupan jemaat didorong oleh faktor-faktor non-gerejawi. Pada hakikatnya, jemaat-jemaat yang berkonflik itu memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikannya. Demikian juga dengan jemaat Samasuru dan jemaat Elpaputih; dua jemaat di Gereja Protestan Maluku yang berkonflik. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menemukan potensi-potensi di dalam jemaat-jemaat ini untuk membangun rekosiliasi di antara mereka. Dengan melakukan wawancara dan focus group discussion, penulis menemukan bahwa pengampunan merupakan jembatan menuju rekonsiliasi. Rekonsiliasi perlu dilakukan karena itu merupakan panggilan jemaat, di mana tanah sebagai sumber konflik dapat menjadi tempat rekonsiliasi, ketika tanah itu dilihat sebagai milik dan pemberian Tuhan..Susanto DwiraharjoThe internet has in fact become one with today's life. Not only has his presence changed many things in the fabric of social life, but it has also changed religious behavior. The worship behavior that has been limited by time and space, and that has become a standard for one's faith, is no longer the case. Not only related to the space and time of worship, even more than that the liturgy of the church that has been sacred has also changed. The output of writing this article is to find a formulation of the digital church. This study applies a qualitative method with phenomenological analysis. With this method, the scattered data can then be constructed in a more meaningful and easily understood theme. This research was conducted through 4 processes, namely first describing facts based on data, second conducting an analysis of the facts found, third conducting a study of the topic from the standpoint of Christianity, and fourth finding its relevance in digital worship pada faktanya telah menyatu dengan kehidupan masa kini. Keha-dirannya tidak saja telah mengubah banyak hal dalam tatanan kehidupan sosial, tetapi juga telah mengubah perilaku keagamaan. Perilaku ibadah yang selama ini terbatasi oleh ruang dan waktu, dan itu telah dijadikan standar baku keimanan seseorang, sekarang tidak lagi demikian. Bukan saja terkait dengan ruang serta waktu peribadatan, bahkan lebih dari itu liturgi gereja yang selama ini disakralkan pun juga ikut berubah. Luaran dari penulisan artikel ini adalah untuk menemukan sebuah formulasi ten-tang gereja digital. Penelitian ini menerapkan metode kualtatif dengan analisis fenomenologi. Dengan metode ini akan dapat ditemukan data-data yang terserak selanjutnya dikonstruksikan dalam satu tema yang lebih bermakna dan mudah dipahami. Penelitian ini dilakukan melalui 4 proses, yaitu pertama mendiskripsikan fakta berdasarkan data, kedua me-lakukan analisis terhadap fakta yang ditemukan, ketiga melakukan kajian terhadap topik dari sudut pandang ajaran Kekristeenan, dan keempat me-nemukan relevansinya pada pola peribadatan secara IwamonyThis article aims to find out and describe the shifting position of the GPM Gereja Protestan Maluku as to other religions, especially Islam. Through library research towards some important documents of the GPM, the researcher found out the development of theological perspectives of the GPM which are fundamental and important for the GPM in understanding other religions. In studying these documents, this study discovered that the position of the GPM as to other religions before the social conflict in 1999 and 2004 are differ significantly to that of after the social conflict. In the document of PIP/RIPP in the period of 1995 to 2005, before the social conflict, they described clearly that the GPM recognizes other religions as the object of its mission. In contrast, in the same document of the period of 2005 to 2015, after the social conflict, they state that the GPM embraces other religions as its partner. Even in the newest document of Ajaran Gereja GPM, they state that God in Jesus Christ is the Savior of all human beings without religious categories. These theological notions have a significant impact on the GPM in shaping its relation with other religions. Not only the theological normative notion, but also the cultural perspectives such as Pela have opened the possibility for the Moluccan Moslems and Christians to coexist as brothers and Berutu Harls Evan R. SiahaanCell groups are important services in church service because they can have implications for the spiritual growth of the congregation. During the Covid-19 pandemic, all worship activities were restricted, including all programs and services at the local church. In order to maintain the continuity of the worship process, the worship space was created virtually through the use of video streaming technology. This article aims to show that virtual services can also be applied in groups of cells. By using literature studies, and descriptive methods, it was concluded that the Covid-19 pandemic period had virtually stimulated cell group service. Abstrak Kelompok sel merupakan pelayanan yang penting dalam pelayanan gereja, karena dapat berimplikasi pada pertumbuhan rohani jemaat. Di masa pandemi Covid-19 ini semua kegiatan ibadah telah mengalami pembatasan, termasuk semua program dan pelayanan di gereja lokal. Demi mempertahankan keberlangsungan proses ibadah, maka ruang ibadah pun dibuat secara virtual melalui penggunaan teknologi video streaming. Artikel ini bertujuan untuk menunjukkan pelaya-nan virtual pun dapat diterapkan dalam kelompok sel. Dengan menggunakan studi literatur, dan metode deskriptif, maka disimpulkan bahwa masa pandemi Covid-19 ini telah menstimulasi pela-yanan kelompok sel secara BurkettCambridge Core - Ancient History - An Introduction to the New Testament and the Origins of Christianity - by Delbert BurkettKate CooperEdward Gibbon laid the fall of the Roman Empire at Christianity's door, suggesting that 'pusillanimous youth preferred the penance of the monastic to the dangers of a military life … whole legions were buried in these religious sanctuaries'. This surprising 2007 study suggests that, far from seeing Christianity as the cause of the fall of the Roman Empire, we should understand the Christianisation of the household as a central Roman survival strategy. By establishing new 'ground rules' for marriage and family life, the Roman Christians of the last century of the Western empire found a way to re-invent the Roman family as a social institution to weather the political, military, and social upheaval of two centuries of invasion and civil war. In doing so, these men and women - both clergy and lay - found themselves changing both what it meant to be Roman, and what it meant to be Christian. John BodelSaul M. OlyanThe first book to explore the religious dimensions of the family and the household in ancient Mediterranean and West Asian antiquity. Advances our understanding of household and familial religion, as opposed to state-sponsored or civic temple cults. Reconstructs domestic and family religious practices in Egypt, Greece, Rome, Israel, Mesopotamia, Ugarit, Emar, and Philistia. Explores many household rituals, such as providing for ancestral spirits, and petitioning of a household's patron deities or of spirits associated with the house itself. Examines lifecycle rituals - from pregnancy and birth to maturity, old age, death, and beyond Looks at religious practices relating to the household both within the home itself and other spaces, such as at extramural tombs and local sanctuaries UmumFriday, 03 Jun 2022, 13:21 WIB. Kakak Kandung Ridwan Kamil, Erwin Muniruzaman memberikan kabar Eril meninggal dunia. BANDUNG---Innalillahi Wainnailahi Rajiun, kabar duka dibagikan keluarga Gubernur Jabar Ridwan Kamil, terkait Putra Gubernur Jabar Ridwan Kamil, Emmeril Kahn Mumtadz atau Eril, yang tenggelam di Sungai Aare Swiss, Kamis
Jakarta, —Dalam kehidupan sehari-hari, kita sebagai mahluk yang diciptakan oleh Allah SWT sebaik-baiknya umat yakni untuk menyembah-NYA. Salah satu bentuk kecintaan kita sebagai mahluk-NYA yakni dengan membaca dan mempelajari kitab Suci Al-Quran. Dalam mempelajari Al-Quran seperti membaca, kita juga pelajari ilmu tajwid atau tahsinnya. Setelah itu mulailah dengan belajar menghafalkannya. Mengenai hafalan Al-Quran merupakan fase dimana amat menguji kesabaran dan konsistensi. Salah satu keistimewaan dari Al-Quran adalah mudah dihafalkan. Maka, sebetulnya setiap manusia memang berpotensi untuk bisa menjadi seorang penghafal Al-Quran. Seseeorang yang berusaha menjadi penjaga Al-Quran, yakni dengan membaca dan menghafal Al-Quran sesuai dengan yang telah Rasul contohkan, juga akan berusaha mengamalkan apa yang terkandung di dalamnya. Seperti menjadi hafizh Quran yang merupakan seorang yang mampu menghidupkan Al-Quran di dalam hatinya. Hafizh Quran, mampu menyalakan potensi dan semangat didalam hatinya. “Sesungguhnya, Al-Quran itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang QS Al-Ankabut 49 Percayalah, bahwa Al-Quran itu memang ‘hidup’. Jika kita mengaku cinta Al-Quran, maka perlu pembuktian dan pengorbanan. Bukankah sejatinya cinta itu adalah tindakan? Seumpama kekasih, atau sahabat dekat … maka Al-Quran pun butuh ‘perhatian’, butuh pertemuan intens, bahkan Al-Quran bisa cemburu. Dengan upaya dan usaha kita untuk membaca, menghafal dan mengamalkan Al-Quran otomatis kita sedang menjaga diri. “Barangsiapa yang membaca menghafal Al-Quran, maka sungguh dirinya telah menyamai derajat kenabian hanya saja tidak ada wahyu baginya penghafal. Tidak pantas bagi penghafal Al-Quran bersama siapa saja yang ia dapati dan tidak melakukan kebodohan terhadap orang yang melakukan kebodohan selektif dalam bergaul sementara dalam dirnya terdapat firman HR. Hakim Untuk diketahui bahwa para penghafal Al-Quran adalah keluarga Allah di dunia. Selain itu seorang penghafal Al-Quran tentunya bisa mengangkat kemuliaan keluarganya sendiri khususnya orang tua. “Sesungguhnya Allah itu mempunyai keluarga yang terdiri daripada manusia…” Kemudian Anas berkata lagi, “Siapakah mereka itu wahai Rasulullah?” Baginda manjawab, “yaitu ahli Quran orang yang membaca atau menghafal Quran dan mengamalkannya. Mereka adalah keluarga Allah dan orang-orang yang istimewa bagi HR. Ahmad “Siapa yang membaca Al-Quran, mempelajarinya dan mengamalkannya, maka dipakaikan mahkota dari cahaya pada hari kiamat, cahayanya seperti cahaya matahari, kedua orang tuanya dipakaikan dua jubah kemuliaan, yang tidak pernah didapatkan di dunia, keduanya bertanya mengapa kami dipakaikan jubah ini? Dijawab “Karena kalian berdua memerintahkan anak kalian untuk mempelajari Al-Quran”. HR. Al Hakim Andy Abdul Hamid
KeluargaNabi adalah pelita-pelita petunjuk, pohon nubuwah, tempat turunnya wahyu, sumber kasih sayang, dan tambang ilmu. Mereka mengamalkan Al-Qur’an dan doa mereka dikabulkan. Mereka ridha kepada Allah dan Allah meridhai mereka. Rasulullah bersabda, “Segala sesuatu memiliki fondasi, dan fondasi Islam ialah mencintai sahabatku dan anggota Menghafaladalah cita-cita, menjadi keluarga Allah adalah pengharapan sedangkan kuliah adalah kewajiban, carilah kehidupan Akhirat mu, dan Janganlah engkau lupakan dunia mu, dan berbuat baiklah kamu, sebagaimana Allah telah berbuat baik padamu, Teman-teman yang saya cintai dan semoga allah mulyakan Satudi antara komedian Indonesia, Rini S Bon Bon meninggal dunia. Rini S Bon Bon meninggal di usia 51 tahun, Minggu (10/7/2022). Kabar duka tersebut disampaikan langsung oleh keluarga Rini S Bon Bon. Pihak keluarga membagikan kepergian Rini S Bon Bon melalui pesan singkat di WhatsApp. Dalam pesan singkat itu, keluarga membenarkan kabar duka
Nantikita akan ditanya tentang nikmat ini di hari kiamat. (Ibnu Katsir, QS 102/1-7). Pernahkah kita tafakkur merenungi hidup, “Fabiayyi aalaa’i rabbikumaa tukazd-dzibaaan.” Adakah nikmat Tuhan yang bisa didustakan (QS.55/13). Berapa banyak nikmat Allah diterima, darimana dan ke mana digunakan; Untuk taat ibadah kepada Allah atau sebaliknya.
ewf3rfr.
  • 80a0qdej6a.pages.dev/51
  • 80a0qdej6a.pages.dev/226
  • 80a0qdej6a.pages.dev/78
  • 80a0qdej6a.pages.dev/287
  • 80a0qdej6a.pages.dev/220
  • 80a0qdej6a.pages.dev/361
  • 80a0qdej6a.pages.dev/374
  • 80a0qdej6a.pages.dev/84
  • 80a0qdej6a.pages.dev/108
  • keluarga allah di dunia